Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

VISI & MISI SEKOLAH

V I S I

Unggul dalam prestasi berbudi pekerti luhur dan mandiri

M I S I

1. Menumbuhkan semangat berprestasi

2. Meningkatkan budaya disiplin seluruh warga sekolah

3. Membiasakan siswa berprilaku sehat

4. Menciptakan pola hubungan yang sinergis anatara skolah dan masyarakat dalam meningkatkan pendidikan

S T R A T E G I

1. Menciptakan sekolah yang bernuansa Manajemen berbasis Sekolah

2. Pencapaian ketuntasan belajar pada tiap mata pelajaran adalah 100%

3. Mendapatkan prestasi non akademikmkhususnya dalam bidan keagamaan kesen ian, olah raga dan keterampilan

4. Meningkatkan wawasan kependidikan dan kemampuan teknis profesional

5. Menciptakan sekolah yang aman

Senin, 20 Februari 2012

Perkembangan Moral Peserta Didik Usia Dini

Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting. Dalam hal ini orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan Hurlock, istilah moral berasal dari kata latin mos(moris), yang berarti adapt istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai- nilai atau prinsip-prinsip moral (Yusuf,2002). Konsep moral sudah dapat dibentuk sejak masa anak yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun. Meskipun sudah dipelajari sejak kecil, namun setelah dewasa manusia tetap berhadapan dengan masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam berhubungan dengan orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin banyak pula nilai-nilai moral.
Menurut Hurlock (dalam Sianawati,dkk, 1992) meskipun perkembangan peserta didik melewati pentahapan yang tetap, namun usia mereka dalam mencapai tahapan tertentu berbeda menurut tingkat perkembangan kognitif mereka
Pola asuh adalah perlakuaan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehar-ihari (Meichati,1978). Menurut Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya peserta didik banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap perkembangaan moral seorang anak. Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan perkembangan moral anak ditinjau dari persepsi pola asuh, yaitu pada orang tua yang menerapkan pola asuh anak yang duduk di TK mulai memperlihatkan keinginan untuk menjadi “anak baik” dan menunjukkan kesetiaan/loyalitas terhadap orang-orang tertentu. Ia sedang memasuki suatu tahap penting perkembangan moral, yang oleh ahli teori Lawrence Kohlberg disebut sebagai tahap “norma-norma interpersonal”. Anak mulai menginternalisir moral-moral sebagaimana yang orang dewasa tunjukan.
Menurut Piaget, perkembangan moral anak menengah dan akhir berada dalam suatu transisi antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous morality. Dalam tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai sesuatu yang tidak akan pernah berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati tanpa perlu mempertanyakannya. Mereka juga cenderung menaati peraturan secara kaku dan menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konskuensi perilaku, bukan berdasarkan maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap ini juga berkembang ide immanent justice (keadilan abadi), yaitu suatu pemikiran bahwa pelanggaran peraturan pasti akan mendapatkan hukuman dengan segera, maupun itu dari orang, objek atau tuhan. Misalnya peserta didik yang berbohong kepada ibunya dan kemudian jatuh dari sepeda sehingga lututnya terluka, akan berpikir bahwa kecelakaan itu terjadi sebagai hukuman karena ia telah berbohong kepada ibunya
Pada tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik, anak sudah menyadari bahwa peraturan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan dapat dipertanyakan. Anak jjuga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh terhadap keinginan orang lain dan bahwa pelanggaran peraturan tidak merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman. Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan perasaan dan melihat dari sudut pandang orang tersebut. Pada tahap ini juga berkembang ide equalitarianisme, dimana anak percaya bahwa keadilan hukum harus ditetapkan pada semua orang. Anak sudah menyadari bahwa pemberian hukuman harus berdasarkan pertimbangan maksud si pelaku dan kondisi saat terjadinya pelanggaraan, dan hukuman yang diberikan tidak harus berbentuk kekerasan, namun juga dapat berupa pembelajaran agar si pelaku menjadi lebih baik dikemudian hari
Piaget berpendapat bahwa seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam berfikir tentang persoalan-persoalan sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman sosial ini terjadi melalui interaksi peserta didik dengan lingkungannya, terutama orang tua dan teman sebaya. Sejalan dengan Piaget yang melihat perkembangan moral dari segi kognitif, Kohberg juga menjelaskan tahapan perkembangan peserta didik . Hanya saja lebih kompleks dari teori piaget . Menurut Kohlberg, perkembangan moral peserta didik menengah dan akhir secara umum berada pada tingkat prakonvensional dan konvensional.
Menurut Hurlock (1993), perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu perkembangan konsep moral dan perkembangan perilaku moral. Perkembangan konsep moral, seperti yang dijelaskan oleh Piaget dan Kohlberg, tidak menjamin timbulnya tingkah laku moral, karena tingkah laku moral tidak hanya semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuan tentang konsep moral, tetapi juga ditentukan oleh banyak faktor seperti tuntutan sosial, konsep diri anak, dan sebagainya. Salah satu faktor yang penting dalam menentukan prilaku moral anak adalah adanya self regulation (pengaturan diri) yaitu kemampuan mengontrol perilaku perilaku sendiri tanpa harus diawasi atau diingatkan oleh orang lain. Dengan adanya pengaturan ini, anak akan mampu menunjukan atau menahan perilaku tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Dibawah ini diberikan contoh aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu dikembangkan pada jenjang pendidikan anak usia ini yang dikutif dari Standar Kompetensi Taman Kanak-Kanak (TK) /Raodhatul Anfhal (RA) tahun 2004 (Depdi8knas, 2004).
Tabel Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama
Kompetensi Dasar
Hasil Belajar
Indikator
Peserta didik mampu
melakukan ibadah,
terbiasa mengikuti
aturan dan dapat
hidup bersih dan
mulai belajar
membedakan
benar dan salah,
terbiasa
berperilaku terpuji
Terbiasa berperilaku sopan
santun

  • Selalu memberi dan membalas salam
  • Berbicara dengan suara yang ramah dan teratur (tidak berteriak)
  • Selalu mengucapkan terima kasih jika
  • memperoleh sesuatu
Membedakan perbuatan
yang benar dan salah

  • Menyebutkan mana yang salah dan benar pada suatu persoalan
  • Menunjukkan perbuatanperbuatan yang benar dan yang salah
Terbiasa untuk disiplin

  • Ke sekolah tepat waktu
  • Mentaati peraturan yang ada
Terbiasa bersikap/
berperilaku Saling hormat
menghormati

  • Menghormati orang tua dan orang yang lebih tua
  • Mendengarkan dan memperhatikan teman
  • bicara
Terbiasa bersikap ramah

  • Berbahasa sopan dan bermuka manis
  • Menyapa teman dan orang lain
Menunjukkan sikap
kerjasama dan persatuan

  • Senang bermain dengan teman (tidak bermain sendiri)
  • Dapat melakspeserta didikan tugas
  • kelompok
  • Dapat memuji teman/ orang lain
Terbiasa menunjukkan
kepedulian

  • Senang menolong
  • Mau memohon dan memberi maaf
  • Mengajak teman untuk bermain/belajar
Terbiasa menjaga kebersihan
diri dan mengurus dirinya
sendiri

  • Membersihkan diri
  • sendiri tanpa
  • bantuan.Misal:
  • menggosok gigi, mandi,
  • buang air
  • Memelihara milik sendiri
Terbiasa menjaga lingkungan

  • Memelihara lingkungan.
  • Misalnya: tidak mencoretcoret
  • tembok, membuang
  • sampah pada tempatnya,
  • dll
  • Menghemat pemakaian air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer