Orang optimis memiliki tekad kuat dalam melakukan sesuatu. Mereka bersungguh-sungguh dan mereka percaya diri.
Menjadi optimis adalah sebuah pembelajaran yang dimulai dari usia dini. Mendidik anak untuk menjadi optimis bisa dilakukan dalam kehidupan pola asuh. Sekarang pertanyaannya, ketika dalam pola pengasuhan anak, apa yang kita ajarkan kepada mereka? Sikap optimis yang pantang mundur atau pesimis yang mudah menyerah?
Sekarang mari kita melihat fakta di lapangan. Penelitian menunjukan bahwa orang pesimis lebih baik jika menghadapi tugas-tugas yang memerlukan ketelitian tinggi. Disitu mereka akan berusaha semampunya untuk menghindari kesalahan. Akan tetapi, orang optimis lebih baik hampir dalam segala hal lainnya.
Orang pesimis suka untuk menyalahkan keadaan bila gagal dalam hidupnya. Orang optimis lebih melihat kegagalan sebagai sebuah pembelajaran dan melihat ke depan. Orang optimis lebih banyak berhasil dalam menjalankan kehidupannya. Baik dalam karier, keluarga, serta lebih baik dalam kesehatannya. Secara umum, orang optimis lebih berbahagia daripada orang pesimis.
Mereka juga tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah atau tekanan hidup. Mereka percaya bahwa hal-hal buruk hanya sementara sifatnya, sedangkan hal-hal yang baik bersifat lebih permanen.
Jadi, mana yang mau dipilih? Membentuk anak menjadi optimis atau pesimis? Saya percaya jawaban kita adalah memilih untuk mengajarkan rasa optimis. Namun, agak sulit mengajarkan rasa optimisme kepada anak. Hal yang paling penting sebelum mengajarkan rasa optimis kepada anak, orangtua harus terlebih dahulu memiliki rasa optimis dalam diri mereka. Jika ada rasa optimis, maka dengan sendirinya kita akan mudah mengajarkan nilai-nilai optimis kepada anak, namun bila perasaan ini tidak ada dalam diri orangtua, tentunya ini akan menjadi kendala yang besar dalam mengajarkan anak rasa optimis.
Ada beberapa prinsip umum yang bisa diterapkan untuk membantu anak memiliki rasa optimis dalam hidup mereka.
1. Fokuslah pada prestasi anak bukan pada kegagalannya
Dalam pengalaman kami sering ditemui orangtua yang selalu fokus pada kegagalan anak. Contoh: ada seorang anak yang mendapat nilai 9 disekolah pada hampir semua mata pelajarannya. Namun, orangtuanya tidak bisa menerima angka tersebut. Menurut mereka, seharusnya anaknya mendapat nilai 10. Pada akhirnya, anak ini menjadi pesimis untuk belajar dan diakhir semester, hampir seluruh nilai akhirnya adalah 6-7. Pada sesi konseling anak ini mengatakan, orangtuanya tidak pernah memuji segala kelebihannya, bahkan untuk nilai-nilai yang di atas rata-rata sekelasnya.
Ketika orangtua tidak melihat kegagalan anak dan bisa melihat prestasi yang ada, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan temtunya tidak akan merasa takut untuk gagal.
2. Sering memuji dengan pujian spesifik
Ketika anak berhasil melakukan suatu kegiatan yang walaupun kecil seperti merapikan pakaiannya sendiri, membereskan mainannya, kita harus memuji dengan spesifik. Contoh: “wah kamu pintar bisa membereskan pakaian sendiri”, “Kamu hebat bisa membereskan mainan kamu” dan lain-lain. Jangan hanya sekedar mengatakan, “hebat kamu”.
3. Dukung anak untuk hal yang diminatinya
Tentunya dukungan yang diberikan untuk hal yang positif dan tidak membahayakan jiwanya. Memberi dukungan kepada anak sebaiknya sejauh yang kita bisa, dan kalau bisa kita terlibat dalam apa yang diminatinya. Contoh: jika dia tertarik dalam hal olahraga, seperti basket, kita bisa mendukungnya dengan membelikan bola basket, menyaksikan dia bermain atau bahkan mengajaknya bermain.
4. Memberi semangat dalam kelemahan
Bila nilai anak pada mata pelajaran tertentu tidak bagus, maka ajarkan pada anak kita supaya itu bukan berarti dia gagal dan tidak berhasil. Jangan mengatakan karena dia bodoh sehingga nilainya jelek. Atau misalnya saat anak gagal merangkai puzzle, jangan langsung katakana bahwa dia bodoh dan tidak bisa mengerjakannya. Katakan saja dia kurang berkonsentrasi pada saat itu.
5. Tidak mencela anak jika melakukan kesalahan, apalagi memberikan hukuman
Sebagai orangtua kita wajib untuk berbuat lebih baik kepada anak dan pastikan juga anak tahu bahwa kita sebagai orangtua, tidak keberatan sedikitpun jika anak melakukan kesalahan sehingga dia tidak takut mencoba lagi untuk gagal.
Alangkah baiknya jika memberinya hadiah atas kemauannya mengulang lagi usaha yang sebelumnya gagal. Berani kembali berusaha setelah gagal merupakan esensi dasar optimisme.
Semoga dengan beberapa prinsip yang ada di atas bisa menolong kita sebagai orangtua untuk mengembangakan rasa optimisme kepada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar